Selasa, 30 Juni 2009

Tentang Marah

Allah menciptakan sifat marah dari api dan menyelipkannya ke dalam batin manusia. Ketika manusia dihalang-halangi, api kemarahannya akan menyala dan bergolak dengan sangat panas bagaikan air mendidih, meruntuhkan kekokohan hati, menyebar ke segenap sendi dan naik ke bagian tubuh paling atas (ubun-ubun), seperti naiknya suhu api atau bergejolaknya air yang mendidih. Karena itu, sifat marah dapat membuat warna kulit memerah. Ketika seseorang marah pada orang lain yang tingkatannya berada dibawahnya dan ia merasa mampu untuk mengalahkannya, maka wajahnya akan memerah.
Ketika ia marah pada orang yang posisinya lebih tinggi darinya dan ia merasa takut dan putus asa jika menghadapinya, maka darah yang mengalir dari kulit ke jantung akan menyusut sehingga ia menjadi sedih dan wajahnya akan menguning. Jika ia marah pada orang yang posisinya sederajat, maka frekwensi aliran darah akan berubah-ubah, terkadang menyusut dan terkadang mengalir deras sehingga wajahnya pun terkadang tampak memerah dan terkadang menguning, hingga akhirnya menimbulkan keraguan. Ringkasnya, tempat marah adalah hati. Artinya, mendidihnya darah yang ada dalam hati karena dipicu oleh keinginan balas dendam (yang terkadang tidak terlaksana).

Ada tiga tingkatan manusia yang berkaitan dengan sifat pemarah:

  • Pertama, manusia yang tafrith (serba kekurangan), yaitu manusi yang kehilangan potensi amarah dan emosinya sama sekali (sehingga tidak dapat marah). Manusia semacam ini tercela, dan inilah yang dimaksud dalam ungkapan Imam Syafi’i, ”Barangsiapa yang sengaja dibuat marah, namun tidak marah, maka ia adalah keledai.”
  • Kedua, manusia yang memiliki emosi seimbang, tidak terlalu lemah dan tidak terlalu ekstrim amarahnya. Sifat seperti inilah yang disematkan Allah kepada para sahabat, sebagaimana tersirat dalam firman-NYA,” Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al Fath 48:29)
  • Ketiga, manusia yang ifrath (serba berlebihan), yaitu manusia yang amarahnya melampaui batas sehingga keluar dari kendali akal dan agama. Orang semacam ini tidak dapat berfikir jernih, bahkan terkesan ia speperti orang terpaksa. Kondisi seperti ini tercela. Kita melihat kondisi dzahirnya tampak berubah menjadi buruk, begitu pula dengan kondisi batinnya, lebih buruk lagi.

Sekali waktu Aisyah pernah marah. Lalu Rasulullah bertanya padanya, ”Setanmu telah merasukimu? ” Aisyah balik bertanya, ”Apakah engkau juga punya setan, ya Rasulullah? ” Beliau menjawab, ”Ya, saya juga. Namun saya senantiasa berdoa kepada Allah dan Ia menolongku sehingga akupun selamat dan tidak memerintah kecuali hanya kebaikan. ” Ali meriwayatkan bahwa Rasulullah tidak pernah marah dalam urusan dunia. Jika ia marah oleh kebenaran (yang dilecehkan), maka tak seorangpun mengenalinya dan berani berdiri karena amarahnya hingga ia memperoleh pertolongan dari Allah.

Sifat pemarah, meskipun sulit untuk dihilangkan secara total, namun bisa diminimalisir dan diperangi, terutama jika tidak berkaitan dengan kebutuhan pokok dalam hidup. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakui kehinaan dan kerendahan jiwanya. Ia juga harus tahu bahwa tidak pantas bagi jiwanya merasa tinggi hati dengan kerendahan dan kehinaan yang dimilikinya.

Mengatasi Amarah dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:

  • Dengan mengenali pahala yang akan ditimpakan Allah kepadanya.
  • Menakut-nakuti dirinya dengan balasan yang akan ditimpakan Allah kepadanya.
  • Mengakui bahwa Allah lebih berkuasa terhadap orang lain ketimbang dirinya.
  • Memperingatkan dirinya akan dampak dari balas dendam yang dilakukan oleh orang yang dimusuhinya karena merasa tersakiti sehingga akhirnya menjadi permusuhan yang berkepanjangan.
  • Membayangkan betapa buruknya penampilan orang lain saat marah, lalu bandingkan dengan dirinya.
  • Memberitahukan kepada dirinya sendiri bahwa ia menyerupai binatang buas yang berbahaya jika sedang marah, namun jika ia berlaku bijak, ia ibarat para nabi dan wali.

Jika kita sudah mengetahui semua hal ini, maka ketika marah, ucapkanlah : Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah. Ketika Aisyah marah, Rasulullah langsung memegang hidungya dan berkata, ”Wahai Uwaisy, bacalah: ” Ya Allah, Rabb Muhammad, sang Nabi, ampunilah dosaku, hilangkanlah amarah hatiku, lindungi aku dari sesatnya.” Bacalah doa ini dan duduklah jika pada saat marah engkau dalam kondisi berdiri, dan berbaringlah jika pada saat marah engkau dalam kondisi duduk.

Rasulullah bersabda, ”Marah adalah (laksana) batu yang dinyalakan dalam hati. Tidakkah kalian melihat menggelembungkan urat leher dan memerahnya kedua mata orang yang sedang marah? Jika salah satu dari kalian mengalami kondisi seperti itu, maka jika sedang berdiri, duduklah dan jika sedang duduk berbaringlah. Jika amarah itu belum hilang juga, maka berwudhulah dengan air dingin dan mandilah karena api tidak dapat dipadamkan kecuali dengan air.

Taman Bougenvile, Jatibening, Bekasi, 02 Juni 2009
Disadur dari Ihya' 'Ulumuddin – Imam Ghazali
oleh m.anwar.sa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar